Aktor Dibalik Mentahnya Gugatan Churchill Mining Senilai 17 Triliun


Ingatkah anda atas kemenangan Pemerintah Indonesia atas gugatan dari dua perusahaan tambang batubara di arbitrase internasional, Majelis Tribunal Internasional Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID), Washington DC, Amerika Serikat ? Dua perusahaan tambang batubara asal Inggris dan Australia ini menggugat karena tak terima kala Pemerintah Kutai Timur, Kalimantan Timur, mencabut izin usaha anak perusahaan mereka.

Berdasarkan putusan bernomor perkara ARB/12/14 (Churchill Mining PIc Vs RI) dan ARB/12/40 (Planet Mining Vs RI) pada 6 Desember 2016 silam yang kasusnya berlangsung sejak 2011, pemerintah Indonesia memenangkan gugatan US$1,31 miliar atau setara Rp17 triliun.

Dikutip dari situs Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), kasus ini bermula saat Para Penggugat menuduh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bupati Kutai Timur (Isran Noor) yang dianggap melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) RI-UK dan RI-Australia. Pelanggaran dimaksud adalah ekspropriasi tidak langsung (indirect expropriation) yakni suatu bentuk nasionalisasi yang disertai dengan pembayaran ganti rugi atau kompensasi. 

Selain itu, tuduhan lainnya adalah terkait prinsip perlakuan yang adil dan seimbang (fair and equitable treatment) melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi) anak perusahaan Para Penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas lebih kurang 350 km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada tanggal 4 Mei 2010. 

Dari tuduhan ekspropriasi tidak langsung dan pencabutan izin tersebut, Para Penggugat mengklaim telah mengalami kerugian terhadap investasinya di Indonesia, dan mengajukan gugatan sebesar USD1.3 Milyar (lebih kurang Rp18 triliun). 

Namun demikian, Pemerintah Indonesia dapat membuktikan adanya pemalsuan yang kemungkinan terbesar menggunakan mesin autopen. Terdapat 34 dokumen palsu yang diajukan oleh Para Penggugat dalam persidangan (termasuk izin pertambangan untuk tahapan general survey dan eksplorasi) yang seolah-olah merupakan dokumen resmi/asli yang dikeluarkan oleh pelbagai lembaga pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah.

Tribunal ICSID sepakat dengan argumentasi Pemerintah Indonesia bahwa “investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional”.

Tribunal ICSID juga menemukan bahwa “Para Penggugat tidak melakukan kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi dengan baik proses perizinannya (lack of diligence)” sehingga Tribunal ICSID menyatakan klaim dari Para Penggugat ditolak dengan penggantian biaya berperkara (award on costs) sebesar USD9,4 Juta.

Akhirnya, melalui perjuangan panjang, pada tanggal 18 Maret 2019 Komite ICSID menegaskan kemenangan Indonesia melalui sebuah putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap (Decision on Annulment). Kemenangan ini adalah prestasi luar biasa bagi Pemerintah Indonesia yang dicapai melalui koordinasi, dukungan, dan kerjasama dari instansi-instansi terkait. 

Peran tangan dingin Isran Noor selaku tergugat yang juga Bupati Kutai Timur dalam merontokkan gugatan tersebut perlu diberikan apresiasi karena puluhan Triliun kerugian negara bisa dihindarkan. Tidak hanya piawai dalam mengelola pemerintahan, namun juga piawai dalam berperkara dengan lembaga Arbitrase Internasional melawan perusahan raksasa pertambangan. Apa jadinya jika Isran Noor dipercayakan menjadi pemimpin Indonesia 2024?

Isran For Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages