EKOWISATA PASCA TAMBANG : WUJUD DANA REBOISASI DAN JAMREK YANG BERKEADILAN ?


Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Isran Noor beberapakali mengutarakan kekesalannya dengan aktivitas tambang batu bara ilegal, bahkan terkadang emosinya tergambar dari nada suara tinggi seperti pernah diungkapkannya, "Pokoknya Jalan Samarinda-Bontang, kita lihat kiri kanan (tambang batu bara) itu enggak ada izin, jalan di Tanah Datar itu kayak Lautan Pasifik" atau pernyataan lainnya "Belum lagi (jalur) Sebulu-Muara Kaman. Hancuy.. hancuy... (baca:hancur)...", "Mereka sekarang menggunakan jalan (umum) bukan hanya malam hari...", 

Pasca kewenangan perizinan (pertambangan) diambil dari daerah ditarik ke pusat, maka daerah (gubernur, bupati, walikota) sangat terbatas kewenangannya termasuk terkait pengawasan aktivitas petambangan tersebut. "Mestinya pusat harus bijaksana, ketika kewenangan perizinan diambil alih, ada catatan Pemprov dan kabupaten/kota tetap diberikan kewenangan/tanggung jawab untuk mengawasi," tegas Isran. "Itu saja yang kita perlukan".

Ini enggak ada catatan terkait kewenangan pengawasannya. Daerah betul-betul babak belur. Siapa yang bertanggung jawab. Isran juga mengaku misalnya kerusakan jalan jalur Bontang-Samarinda yang merupakan jalan nasional kewenangannya berada di Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Kaltim.

"Siapa mau tanggung jawab, kita mau negur namun tidak memiliki kewenangan, karena merupakan jalan Nasional, bukan jalan Provinsi atau jalan Kabupaten/Kota." Kewenangan "dicabut", dan pengawasan tidak diberikan, akhirnya hanya bisa berkoordinasi dengan penegak hukum agar menindak penambang ilegal itu, karena kaitannya dengan aktivitas ilegal, itu menjadi kewenangan aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan karena ada pelanggaran hukum di situ. "Mestinya penegak hukum bergerak cepat agar tidak terjadi aktivitas ilegal yang merusak jalan-jalan umum karena kegiatan hauling (pengangkutan batu bara)," 

Terkait kerusakan jalan, terlebih sebagai dampak langsung dari aktivitas pertambangan, terkadang masyarakat ingin jalanan segera mulus tatkala terjadi kerusakan, sangat wajar apa yang diharapkan masayarakat, dan sesuai kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah, kami sudah melakukan langkah-langkah yang diperlukan.

Jalan yang rusak tersebut ada yang statusnya jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, sehingga kewenangan untuk menangani kerusakan-kerusakan tersebut tidak bisa juga overlaving bahkan gegabah, harus dicarikan formulasi yang tepat, agar tidak berdampak secara hukum karena menyalahi kewenangan. 

Disisi lain, terkait pertambangan terbuka yang terjadi baik yang ilegal maupun yang legal, selalu meninggalkan lubang-lubang galian yang menganga dan berbahaya bagi masyarakat. Sudah begitu banyak korban jiwa akibat lubang-lubang tambang tersebut. Isran berharap masyarakat ikut mengingatkan, memelihara, dan menjaga keluarga, khususnya anak-anak mereka agar tidak bermain di kawasan lahan tambang, apalagi sampai berenang di kolam lubang bekas tambang batu bara. Sekali lagi ini kewenangan perizinan ada di pusat, begitupula pengawasannya.

Dana Reboisasi (DR) yang seharusnya bisa digunakan untuk menghijaukan kembali area lubang-lubang tambang tersebut serta area sekitarnya untuk dikembalikan lagi vegetasinya terkadang selalu melalui jalan berliku dan terkadang buntu.

Pungutan Dana Reboisasi dengan besaran 60% untuk pusat dan 40% untuk daerah saja sudah jauh dari kata adil. Kekayaan alam dikeruk, dan daerah dapat bagian lebih kecil ditambah bonus kerusakan alam dan lingkungan yang ditinggalkan. Pusat yang tidak memiliki hutan tersebut, semestinya cukuplah mendapatkan bagian 30% dari dana Reboisasi. Disisi lain, alokasi penggunaan Dana Reboisasi mestinya bisa lebih fleksibel. Misalnya tatkala TIDAK terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka alokasi dana bisa dialihkan, bukan malah dijadikan temuan anggaran yang tidak terealisasi (akibat tidak ada kebakaran) yang dapat berdampak pada besaran dana yang akan dikucurkan pada tahun berikutnya.   

Pemerintah akan terus berupaya melakukan pemulihan lubang-lubang bekas tambang terlantar. Lubang-lubang bekas tambang itu akan segera dipulihkan dan jika memungkinkan dikelola agar bermanfaat bagi masyarakat dan menambah penerimaan asli daerah dari sektor pariwisata.

Isran pun mengaku telah berkoordinasi dengan Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim agar terus berkomunikasi dengan pihak perusahaan pemilik kawasan tambang. Pihaknya juga akan mencarikan solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan lubang eks tambang di konsesinya, sehingga tidak lagi memakan korban jiwa. Selain itu, mungkin solusi lainnya adalah dengan membangun ekowisata dari lubang-lubang tambang tersebut sehingga secara tidak langsung ada pengawasan pada lokasi-lokasi tersebut dan tentunya ada nilai keekonomian bagi masyarakat khususnya, terlebih bisa menjadi pendapatan bagi daerah.

Konsep ekowisata ini bisa dengan menjadikan lubang-lubang tambang tersebut menjadi objek-objek agrowisata, resort-resort, bahkan bisa menjadi lokasi membangun energi listrik tenaga surya serta menjadi bahan baku air bersih untuk PDAM guna kebermanfaatan bagi masyarakat dengan dialirinya air bersih dan tenaga listrik berbahan baku ramah lingkungan. (Tampak pada gambar/ilustrasi) 

Lahan-lahan tersebut sepertinya sengaja dibiarkan begitu saja, tidak direklamasi setelah ditambang, padahal pemulihannya seharusnya tetap menjadi tanggung jawab pemilik konsesi, Pemilik konsesi atas lahan-lahan tersebut terkadang, bahkan sebagian besar "nakal" dengan membiarkan tidak melakukan reklamasi dengan asumsi telah menyetor dana Jaminan  Reklamasi (JAMREK/Bank Garansi), sehingga andai tidak melakukan reboisasipun maka tidak masalah jika dana jaminan yang disetorkan "disita negara". Menurut hitung-hitungan pemilik konsesi yang nakal, "trik" ini jauh lebih murah dan ringan, daripada harus menanam sendiri yang belum tentu berhasil. 

Dana Reboisasi (DR) dan Dana Jaminan Reklamasi (JAMREK) ini semestinya dikembalikan 100% kedaerah konsesi. Fakta yang terjadi, begitu besar jumlah dana ini mengendap di pusat, padahal daerah sangat membutuhkan dana tersebut untuk memperbaiki lingkungan yang ada. Menahan dana tersebut, merupakan indikasi awal terjadinya penggelapan dana Jamrek dan DR.

Jumlah dana Jamrek ini semakin meningkat masuknya ke pusat seiring dengan meningkatnya besaran dana Jamrek yang harus disetor dari 15 juta per hektar, menjadi 110 juta per hektar. Semoga dengan meningkatnya besaran dana jaminan tersebut, perusahan pemegang konsensi lahan semakin serius menangani reklamasi pasca tambang, jika tidakpun semoga pusat lebih bijaksana kepada daerah terdampak kerusakan lingkungan pasca tambang. Perlu kepemimpinan nasional yang aware dengan daerah penghasil dan peduli dengan lingkungan, dan kepedulian terkait ini ada pada figur tokoh nasional yakni Isran Noor.

Akhirnya, memang negara harus hadir dan memperhatikan daerah-daerah penghasil sumberdaya alam ini, terlebih undang-undang dasar mengamanatkan bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara DAN DIGUNAKAN SEBESAR-BESARNYA (50%+1) untuk Kemakmuran Rakyat, terlebih rakyat atau masyarakat dimana lokus usaha pertambangan tersebut berada. Permasalahan pertambangan ini termasuk terkait dana reboisasi dan Jamrek-nya juga dialami daerah-daerah penghasil lainnya di Indonesia. Perlu ada perjuangan bersama-sama provinsi-provinsi penghasil diseluruh Indonesia untuk mewujudkan harapan ini. (Membaca Buah Pikiran Isran Noor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages